Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mendirikan Rumah Ramah Rubella, Grace Melia: “Terharu Bisa Mendekatkan Hubungan Orangtua dan Anak”

Saat Bunda mendengar nama Grace Melia, kesan pertama apa yang muncul? Pengalamannya menjadi seorang ibu yang mendampingi dua anak berkebutuhan khusus dan sharing hal menarik seputar kehidupannya melalui tulisan di blog. Mba Geci, sapaan akrabnya, kini pun menjadi mom influencer untuk para perempuan dan ibu-ibu di seluruh dunia. Apalagi mami dari Ubi dan Aiden ini menjadi founder dari Rumah Ramah Rubella, yang didirikannya 2013 silam. Melalui komunitas online tersebut, membawa Grace Melia mendapat penghargaan dari Kementerian Kesehatan di tahun yang sama berdirinya Rumah Ramah Rubella. Pada tahun 2015, perempuan lulusan Universitas Sanata Darma dengan jurusan Sastra Inggris ini, mendapatkan kesempatan untuk mengepakkan sayapnya ke luar negeri.  Geci mengambil kesempatan tersebut untuk sharing di Palang Merah Amerika di Washington DC. Bahkan pada tahun 2015, setelah melahirkan anak keduanya yang berjenis kelamin laki-laki, Geci mulai jatuh cinta dengan dunia anak-anak. Sampai ia memutuskan untuk mengikuti Montessori Intensive Class dan mengikuti Post-Graduate Certificate in Therapeutic Play pada tahun 2019. Mulai saat itu pula ia memutuskan untuk memberikan layanan play therapy kepada anak-anak yang mengalami gangguan emosi, sosial, dan perilaku di Jogja Medical Center. Tak Hanya Seputar Blogging, Play Therapy dan Rumah Ramah Rubella Bersama Grace Melia Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, theAsianparent regional memilih 100 ibu yang menginspirasi dan mendapatkan penghargaan Marvelous Asian Mums Awards 2021. Tak hanya di theAsianparent Indonesia, pemilihan perempuan yang menginsiprasi ini juga dilakukan di beberapa negara lainnya, seperti Malaysia, Singapura, Philipina, dan Vietnam.  Nah, tAp Indonesia memilih Mba Grace Melia sebagai salah seorang dari 20 ibu yang menginspirasi perempuan lainnya. Berikut ini kutipan wawancara saya dengan perempuan yang berdomisili di Jogjakarta. Ceritain sedikit, dong, sekarang sedang sibuk apa saja, khususnya di masa pandemi ini? Pandemi udah setahun, ya, selama pandemi anakku yang kedua (Aiden, 5 tahun) SFH, jadi tentunya dampingin SFH, sisanya main-main sama anak-anak. Khususnya masa pandemi ini kami sering bermain bebasnya. Kesibukan lain bikin konten di IG, khususnya tema parenting dan bermain karna aku excited banget berbagi tentang hal ini di IG utama @grace.melia dan akun kedua khusus bermain dan pola asuh @weplaytolearn. Saat ini juga sedang mengambil program Diploma Montessori kelas daring. Pandemi ini, pada nyatanya bikin aku bahagia juga karena bisa ikut aneka kursus dengan mudah diakses (daring). Praktik play therapy di klinik belum bisa berjalan lagi karena belum aman. Jadi energiku ku pakai dulu buat belajar dan sharing-sharing (konten, IG live, serta kelas-kelas online). Artikel terkait: Prita Ghozie, Bicara Soal Membangun Bisnis, dan Tantangan Jadi Ibu Masa Kini Saat ini bagaimana dengan Rumah Ramah Rubella, apakah komunitas ini masih berjalan? Sejujurnya sudah enggak seaktif dulu karena aku dan beberapa pengurus masing-masing punya kondisi yang perlu diprioritaskan. Jadi belum bikin event lagi. Tapi saling sharing masih berjalan di platform FB group dan WA group. Kalau ada kesempatan aku mengisi sharing untuk keluarga berkebutuhan khusus, karena sekarang bahasannya enggak spesifik mengenai Rubella lagi. Melainkan mengenai penerimaan, kesehatan mental untuk keluarga dengan kebutuhan khusus. Sekarang rasanya lebih nyaman ke arah sini, karna aku juga belajar tentang terapi bermain yg erat kaitannya dengan kesehatan mental emosional. Jadi lebih ‘berani’ untuk berbagi (melihat kapasitas diri sendiri). Kalau dulu bahas tentang Rubella dan dampak-dampaknya memang enggak terlalu berani karena aku bukan dokter, takut enggak bisa dipertanggungjawabkan. Dari kacamata Mbak, di masa sekarang ini, apakah para orangtua sudah lebih aware dengan infeksi virus rubella? Yes. Sering dapat cerita dari DM dari orang-orang yang enggak aku kenal. Jadi katanya screening TORCH sebelum menikah, kesadaran tentang pemeriksaan sebelum menikahnya sudah ada dan diterapkan. Bahkan karena peran pemerintah juga yang mengadakan kampanye besar-besaran vaksinasi MR gratis di 2017-2018. Sehingga masyarakat sudah lebih ngeh dan lebih mendengar tentang Rubella itu.   Dikenal sebagai parenting blogger, Mbak juga sekarang tertarik dan mendalami sebagai play therapist. Awalnya gimana, sih, apa yang didapatkan setelah menjalani sebagai therapeutic play practitioner? Awalnya karena aku memang punya kerinduan untuk belajar lagi, sudah siapin dana juga. Aku sangat tertarik dengan psikologi, kesehatan mental emosional. Dari dulu memang udah suka. Plus aku pernah didiagnosis depresi oleh psikiater. Jadi aku merasa kesehatan mental itu penting, walaupun tidak sekentara kesehatan fisik. Sempat mau kuliah di salah satu universitas di Jogja ambil psikologi, tapi ternyata jadwalnya super padat. Aku putuskan untuk drop aja karena takutnya urusan keluarga jadi terabaikan. Hal yang didapatkan menjadi Therapeutic Play Parctitioner? Nah, tiba-tiba tahu aja gitu info tentang training sertifikasi play therapy. Benar-benar rasanya seperti ditunjukkan sama Tuhan, karena awalnya, tuh, aku benar-benar enggak tahu ada yang namanya terapi bermain. Tidak ada yang kebetulan, sih, aku peracaya itu. Dari cerita panjangku, akhirnya ambil sertifikasi play therapy ini aja. Jadwal lebih fleksibel, walau pelatihannya di Jakarta, tapi masih bisa dilakukan ketimbang kuliah di universitas. Dari situ banyak banget yang ku dapat. Sampai bingung mau cerita dari mana dan apa sajanya. Tapi yang paling besar aku rasain adalah aku dapat healing. Itu enggak terukur oleh uang, oleh apa pun. Saat training, 80% adalah praktik, 20% teori. Nah, jadi saat proses belajar pun, aku terproses. Isu-isu yang aku hadapi atau yang mengendap bisa tertuntaskan. Isu luka batin di masa kecilku, ujian hidup yang aku alami saat aku usia 13-14 tahun terproses, keluar semua, aku jadi bisa lebih menerima dan berdamai, lahir baru Alhamdulillah. Dampak yang dirasakan belajar Play Therapy Terhadap pasangan Dampaknya pun dirasakan oleh keluarga, terutama suamiku. Aku, sih, menilai diriku jadi lebih kalem, sabar, tenang menghadapi masalah atau situasi menantang. Ternyata suamiku juga merasakan itu (jadi bukan aku doang yang ge-er LOL). Suamiku bilang setelah belajar play therapy ini, aku jauh lebih sabar. Contoh gampangnya, saat aku dan suami berargumen. Kalau dulu, aku ajakin argumen enggak pandang sikon, enggak liat waktu. Suamiku masih sibuk kerja juga aku cecer biar cepetan selesai. Cara bicaraku juga judgmental, enggak enak. Jadinya malah makin berantem, deh. Sekarang sudah lebih sadar tentang pola komunikasi yang memberi rasa aman. Enggak lagi cecer suami tanpa liat sikon. Enggak lagi perpanjang argumen hanya biar puas ngomel. Dampaknya sekarang berantem berkurang banget dan enggak lama-lama lagi. Definisi berantem di sini bukan berantem karna masalah prinsip. Cuma hal sepele aja, dulu bisa lama marahnya.  Terhadap anak Ngadepin anak-anak juga tentunya lebih tenang. Karena udah makin ngerti bahwa otak anak masih berkembang, masih butuh bantuan untuk mengenal dan meregulasi emosi. Jadi sekarang kalau ngeliat anakku yang kedua marah, takut, kecewa, sedih dengan kacamata yang bereda. Bukan aku join chaos-nya dia, tapi aku share my calm sama dia. Kalau anak pertama ABK dengan disabilitas intelektual jadi pola tantrum atau marahnya, kan, beda, makanya aku hanya sebut anak kedua di case ini. Intinya, pola asuhku ke anak-anak jadi lebih sehat. Tentunya ini manfaat yang gede banget, investasi untuk ke depan.  Terhadap klien Hal lain, rasanya luar biasa bisa membantu klien yang punya masalah emosi, sosial, perilaku lewat play therapy. Itu, tuh, enggak bisa aku jabarin hanya pakai satu dua kata aja. Hangat, takjub, merasa aku bermanfaat, bersyukur, senang melihat orangtua klien pun merasakan bahwa anaknya ada perubahan dan hubungan orangtua-anak lebih dekat. Ketika kita bisa menjadi salah satu jalan untuk mendekatkan sebuah hubungan orangtua dan anak, rasanya huhu terharu. Menjadi ibu di masa kini, tantangan apa yang paling Mbak rasakan? Aku copas dari caption IGku aja karena ini yg aku rasakan: SUSAH JADI ORANGTUA (?) Ga nyangka post tentang ancaman kemarin ramai saved, shares, & comments. Jarang-jarang aku bikin konten #ParentingGesi yang sampai ramai begini (bagiku sudah ramai likes tembus 1000, comment tembus 70+).  Bukan tentang jumlah comment/likes nya, ya. Tapi karna ku bacain semua komennya dan ternyata mostly menanyakan kalau begini termasuk mengancam ga, kalau begitu gapapa ga, biar ga ngancam gimana caranya, semacam itu. Nah ini yg menyentil. Kalau dulu saat kecil, kita terbiasa dapat pola asuh yang ada ancaman dan saat itu kita belum proses itu. Maka bisa dipahami kalau hari ini kita juga lakukan ke anak. Kalau dulu saat kanak-kanak, kita nggak dibiasakan membicarakan emosi, maka lumrah kalau hari ini kita kikuk bahas emosi sama anak. Zaman dulu resource dan edukasi relatif lebih terbatas. Beda sama masa kini. Dulu orangtua, ya, taunya pola asuh itu yang begitu, orangtua yang superior. Nilai akademika merupakan poin penting, IQ lebih penting daripada EQ. Orangtua kita juga tentu sudah berusaha seoptimal mereka dengan sumber daya yang mereka punya saat itu Nah, kita di masa kini, jor-joranya sekarang edukasi kesehatan emosi secara umum dan pengasuhan keluarga. Tau teori tapi minim pengalaman yang sehat dengan orangtua. Sehingga wajar jika kita merasa ini menantang. Semoga kita jadi lebih mampu berwelas asih pada diri sendiri bahwa kita bukan ibu yang buruk maupun gagal.  Tapi ‘hanya’ karena kita belum terbiasa atau kurang punya pengalaman konkret tentang parenting yang menyejahterakan kesehatan emosional. Itu dulu menurutku, kita berwelas asih terhadap diri sendiri. Setelah itu, dalam prosesnya, kita mengumpulkan kekuatan dan semangat baru untuk mencoba cara-cara baru yang lebih sehat dalam pengasuhan anak. #JadiOrangtua kombinasi edukasi, iman, harapan, dan usaha bertumbuh serta berproses. Sesungguhnya, setiap ibu mampu menjadi versi terbaik menurut dirinya sendiri. Imani itu ya teman-teman. Artikel terkait: Surat Terbuka Untuk Para Perempuan yang Kejam Terhadap Perempuan Lainnya Ada nggak sih, pesan/value dari orangtua yang membekas buat Mbak Grace Melia bahkan akhirnya Mbak ingin ‘wariskan’ ke anak-anak? Jujur aja, sedikit yang ingin aku wariskan karena memang attachment aku dengan orangtua bukan secure attachment. Hubunganku dengan Mama banyak dilandasi emosi fear. Papaku jauh lebih sabar dan enggak bikin aku fear, tapi Papaku tipe yg dismissive, tidak nyaman dengan emosi negatif. Jadi misal aku cerita, nih, yang sederhana, deh “Duh kesel jerawatku sekarang banyak” nah Papaku itu tipe yang “Mbok udah to, bersyukur. Cuma jerawat” semacam itu. Emosi ku enggak divalidasi. Padahal aku bilang begitu bukan berarti enggak bersyukur, ya, cuma mau rant aja. Nah imbasnya, lama kelamaan jadi kurang nyaman mau cerita ke Papa. Tapi dari situ aku belajar untuk TIDAK mengulang pengasuhan yg seperti itu ke anak-anakku. Jadi tetep ada yang bisa diambil, ya. Aku PERCAYA orangtuaku sudah berusaha sebaik mereka bisa dengan sumber daya dan wawasan yg mereka miliki saat itu. Apa value dari orangtua Mba Grace yang masih diterapkan sampai saat ini? Kalau bicara value yang menurut aku membekas adalah dari Papa, tentang being humble. Ini membekas banget untuk enggak sombong, enggak merasa paling wow dan keren seantero jagat raya. Papaku juga menunjukkan value tentang menilai kebaikan pada orang. Bahwa orang yang kelihatannya berbeda, nyeleneh, ‘gagal’ menurut society atau apa pun itu, PASTI punya sisi baik kalau kita mau kenal lebih dalam. Never judge a book only based on its cover. Papa juga tunjukin untuk tidak judgmental apalagi hanya berdasar penampilan. Cara seseorang berbusana, hal-hal yang sifatnya hanya ‘di luar’ saja. Itu kebawa banget sampai sekarang dan aku senang, aku jadi punya dan bisa berteman dengan aneka macam orang. Mau yang mampu atau kurang secara finansial, berpenampilan tertutup, terbuka, lebih tua atau lebih muda dari aku, kayaknya aku ada semua teman-teman yang seperti itu. Mendengar kata ‘perempuan’, hal apa yang terbersit dalam benak Mbak Grace Melia? Manusia. Iya cuma itu untuk saat ini. Kalau ditanya kemarin atau beberapa waktu ke depan, who knows apa yang terbersit, ya. Tapi untuk sekarang, MANUSIA. Perempuan itu manusia untuk dirinya sendiri yang juga perlu berbaik hati dan berwelas asih sama dirinya. Di kehidupan sosial kita, perempuan punya banyak role dan tuntutan. Jadi ibu dengan tuntutan sabar. Sebagai istri harus bisa nyenengin suami. Jadi perempuan single harus inget usia kapan nikah dan lainnya. Setelah menikah dan berkeluarga yang belum dikaruniai buah hati, selalu ditanya, kok, enggak punya-punya anak, dan masih banyak lagi. Perempuan di mata Mba Grace Melia? Aku tidak bicara bahwa tuntutan-tuntutan itu sepenuhnya salah. Kalau jadi ibu, ya, memang perlu untuk sabar. Kalau jadi istri, ya, memang perlu untuk saling menyenangkan dan memperhatikan dengan suami. Masing-masing peran ada tanggung jawab dan amanah. Tapi kemudian kita sering lupa peran sebagai diri sendiri yang manusia ini. Bahwa kita juga butuh penuhi kebutuhan. Butuh memeluk diri kita sendiri, butuh mengisi tangki emosi diri kita sendiri. Jauh sebelum jadi istrinya suami dan ibunya anak-anak, kita ya kita, punya nama, memiliki identitas. Aku nggak cuma Bu Adit, Mami Ubii dan Aiden, tapi aku juga Grace Melia Kristanto yang punya kebutuhan dan keinginan. Setelah menjadi ibu, tidak sedikit dari kita yang menganggap pengasuhan, peran ibu dan anak adalah poros dunia.  Pemikiran itu enggak sepenuhnya keliru, karena memang anak adalah anugerah dan amanah yang butuh tanggung jawab besar. Tapi, mari tidak lupa bahwa menjadi ibu itu bukan satu-satunya peran kita dalam hidup ini. Kita juga adalah istri, anak, kakak, adik, teman, sahabat, pekerja, dan lainnya. Tentu yang paling mendasar bahwa kita adalah manusia. Seorang manusia yang punya karakter, kebutuhan dan keinginan. Jadi penting juga untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri. Sebab saat kita sudah merasa bahagia dengan diri kita. Niscaya, kita pun akan lebih mampu menjalankan peran lainnya.  Menjalani berbagai peran, jadi individu, istri, ibu, blogger, therapeutic play practitioner dan lainnya, bagaimana menyeimbangkannya? Berusaha punya manajemen waktu dan manajemen energi yang cukup. Sesederhana, kalau lagi main sama anak, enggak sambil pegang atau mikirin kerjaan. Kalau lagi nyicil kerjain project di jam 10-11 pagi (misalnya) dan itu belum deadline. Pertimbangkan mau ‘secapek’ apa, mau dikerjain sampai ngoyo banget dan kekuras energiku di situ? Padahal jam 11.15 (misal) sudah janjian mau main sama anak dan aku tau anakku banyak energi saat bermain. Kalau mau ngoyo banget garap cicilan project, mungkin memang bisa lekas kelar. Tapi energiku habis, terus mau gimana main sama anak? Anakku juga deserve energiku. Kira-kira begitu, ya. Apa definisi perempuan atau ibu yang hebat di mata Mbak Grace Melia? Punya kebanggaan atas dirinya, perannya, dan apa yang ia lakukan. Kebanggaan bukanlah kesombongan. Kebanggaan adalah penghargaan terhadap diri kita sendiri, melihat dan percaya bahwa diri kita berharga. Tak terbatas pada peran atau kariernya. Jangan pernah bilang “Aku hanya IRT” jadi IRT itu bukan hanya, bukan cuma. Kalau memang ada rasa kosong, carilah apa yang bisa kita buat untuk mengisi perasaan kosong itu. Tidak ada yang salah dengan punya mimpi yang terukur. Adakah sosok yang menginspirasi Mbak Grace Melia? Siapa dan mengapa? Cinderella HAHAHAHAHA. Buat sebagian orang, mungkin Cinderella hanya punya pesan tentang menikahlah dengan pangeran tajir melintir untuk say good bye pada kemalangan hidupmu. Sejujurnya dulu aku juga nangkepnya pesan itu doang, sih, lol. Tapi di usia ini, menonton lagi, aku melihat pesan yang lain. Yang tadinya ku pikir hidupnya semudah itu, hmm wait, no.  Artikel terkait: Sukses Bangun Rumah dengan Tangan Sendiri, Perempuan Ini Sungguh Menginspirasi! Point menarik film Cinderella menurut Mba Grace Melia * Dia sudah berapa tahun hidup melas karena dijahatin ibu dan saudara tirinya coba. Dijudesin, diperlakukan bak ART. Padahal itu rumah ayahnya. Namun dia berhasil bertahan. Enggak yang jadi merasa pahit sama hidup. Tetep percaya bahwa dirinya berharga dan berani bermimpi. Dia tetep ceria, nyanyi-nyanyi, bersenandung dan jalan sambil menari. * Hidupnya sengsara dikelilingi toxic people, tapi enggak bikin dia lemah dan jadi malas mengurus dirinya sendiri. Walau enggak ketemu siapa-siapa, Cinderella tetep memperhatikan physical well being-nya. Mandi pun bukan cuman mandi yang ritual belaka, tapi dia enjoy mandinya. Sambil nyanyi dan bercanda sama burung-burung. Catatan penting, apa yang aku dapat dari film tersebut setelah nonton lagi, adalah terlepas dari kesulitan kita, ingatlah bahwa ini akan berlalu. Berusahalah untuk selalu menemukan harapan. * Orang ngejahatin kita, bukan berarti kita harus balas dan jadi orang jahat juga. Kalau memang punya pilihan untuk leave, ya leave aja. Pelajaran lain yang didapatkan adalah tentang rasa percaya diri, nilai batin dan tidak membiarkan orang lain merusak apa yang sudah dipercayai. * Tetap punya mimpi. Cinderella terus bermimpi tentang kehidupan yang lebih baik karena dia percaya sama dirinya, dia tau dirinya berharga. Dia ingat terus sama pesan mendiang orangtuanya untuk berani bermimpi dan jadi pribadi yang baik. * Di sini sih bantuan datang dari ibu peri magis. Namun dalam dunia nyata, bantuan didapatkan dari mana saja. Pasangan, teman, tetangga, mertua, sepupu, rekan kerja, dan lain-lain. Saya belajar bahwa meminta bantuan tidak berarti kita lemah. Justru orang yang punya resiliensi itu adalah orang yang tau kapan butuh pertolongan, bagaimana mencari, dan mengungkapkan dia butuh bantuan. Berhentilah bersikap terlalu keras pada diri kita sendiri. * Mungkin, suatu hari anak-anakku menonton Cinderella, yang nilai penting yang akan disampaikan kepada mereka adalah KEBERANIAN dan KEBAIKAN. Tentang tetap memiliki pemikiran positif. Bukan tentang pernikahan adalah solusi dari masalah hidup. Apa goals 3-5 tahun mendatang? Ada mimpi yang ingin diwujudkan? Tough question. Rasanya belum kepikiran 3-5 tahun mendatang. Setelah ambil study play therapy, ternyata aku jadi lebih nyaman untuk membuat agenda dengan rencana yang terukur, feasible, dan lebih dekat dulu. Kalau untuk 1 tahun ke depan, goal-ku adalah bisa menyelesaikan study Diploma Montessori. Untuk 2 tahun ke depan, aku bermimpi ambil sertfikasi Filial Play atau Story Play. Tetapi untuk 3-5 tahun ke depan, jujur aku belum terpikirkan sejauh itu. Yang aku tau dan aku yakini saat ini adalah berada di jalan yang benar serta sesuai dengan passion dan panggilan di dunia pengasuhan, bermain, dan kesehatan mental untuk keluarga. Jadi aku percaya diri bahwa ini akan bawa aku melihat kesempatan sepanjang jalan. Parents, itulah deretan pertanyaan yang berhasil kami rangkum dari seorang Grace Melia. Semoga bisa menginspirasi Anda. : Kisah Ibu Dampingi Anak Thalasemia, “Harus Ikhlas, Jalani Pengobatan Seumur Hidup” Perjuangan Ibu Merawat Anak dengan Hirschprung Disease, "Kuncinya Sabar dan Semangat" Bekerja di Rumah, Bagaimana Caranya? The post Mendirikan Rumah Ramah Rubella, Grace Melia: “Terharu Bisa Mendekatkan Hubungan Orangtua dan Anak” appeared first on theAsianparent: Situs Parenting Terbaik di Indonesia.
http://dlvr.it/RvFZ1k

Posting Komentar untuk "Mendirikan Rumah Ramah Rubella, Grace Melia: “Terharu Bisa Mendekatkan Hubungan Orangtua dan Anak”"