Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

“Ibu dan Nenek Sakit Keras, Inilah Pengalamanku Menjadi Ibu Sekaligus Seorang Anak”

Hai, semua, di sini aku akan membagikan pengalamanku yang sederhana menjadi seorang ibu. Sekaligus, berbagi kisahku yang juga mencoba menjadi anak berbakti bagi orangtuaku. Artikel terkait: Bijak Mendidik Anak, Tips Parenting untuk Para Ibu Muda Pengalamanku Menjadi Ibu Sekaligus Seorang Anak Ilustrasi Foto Awal cerita, sesudah menikah, aku memutuskan bekerja menjadi guru PAUD. Selama dua tahunan mengajar PAUD, aku memutuskan untuk resign karena nenekku jatuh sakit. Beliau usianya sudah menginjak 95 tahun, dan aku bertekad ingin mengurusnya yang terbaring tak berdaya di rumah. Aku ingin berbakti kepada nenek yang dulu turut serta mengurusku dari semenjak aku bayi. Saat aku masih mengurus nenek yang sakit-sakitan, aku kembali mendapatkan kabar buruk. Dokter mendiagnosis bahwa mamaku menderita gagal ginjal. Mama harus berobat jalan, yaitu cuci darah seminggu dua kali. Selain nenek, aku pun bertekad ingin mengurus mamaku. Aku ingin menjaga keduanya. Tak masalah, aku akan siap sedia mengantar dan menunggui setiap mamaku cuci darah di rumah sakit. Namun rupanya, Tuhan lebih menyayangi nenekku. Beliau dipanggil di usianya yang ke-97 tahun. Tepat setelah dua tahun sakit dan terbaring lemah di rumah. Selama ini, beliau memang menolak dirawat di rumah sakit. Katanya, kalau sudah waktunya meninggal, beliau inginnya dirawat di rumah saja. Tentunya, aku sangat sedih kehilangan sosok nenek yang penyayang, penyabar dan selalu manjakan aku sewaktu kecil. Mengandung Anak Pertama Setelah Tujuh Tahun Menikah Kini, aku tinggal fokus mengurus mamaku yang sakit gagal ginjal. Kira-kira satu tahun lebih nenekku tiada, ternyata aku mendapat sebuah mukjizat dari Tuhan, yaitu kehamilan. Ya, aku dan suami memang telah menanti momongan setelah sekian lama, yaitu tujuh tahun pernikahan. Betapa bersyukurnya, kami akhirnya diberikan kepercayaan menjadi orangtua. Mendengar hal ini, mama juga sangat bahagia. Meski hamil, aku tetap bertekad untuk tetap merawat mamaku yang sakit. Aku sama sekali tidak pernah mengeluh dengan keadaan ini. Malah, aku merasa kehamilan pertamaku sekaligus mengurus mama sakit bukanlah suatu beban. Aku menganggapnya sebagai ibadah, yang Insya Allah akan menjadi ladang pahala bagiku. Meski tengah berbadan dua, aku tetap menemani mama cuci darah seminggu dua kali. Serta, sebulan sekali menemani beliau kontrol ke Poli Penyakit Dalam di rumah sakit. Singkat cerita, alhamdulillah… anak pertamaku lahir. Berjenis kelamin perempuan. Ia lahir dengan sehat dan selamat. Beberapa hari setelah bersalin, aku membawa anakku pulang ke rumah. Selama mengurus anakku yang masih bayi, aku merawatnya sendiri, karena mamaku juga tidak boleh kecapekan. Aku tidak memakai jasa nanny karena aku pikir, lebih baik uangnya aku gunakan untuk keperluan mamaku berobat saja. Di lain sisi, mamaku sangat menyayangi anak pertamaku, atau cucu ketiganya itu. Mama sempat berkata, “Mama bisa tidak, ya, bertahan sampai Adibah (nama anakku) besar nanti?”. Mendengar ucapannya, hatiku sedih. Namun, aku selalu menyemangati beliau. Aku tak mau menampilkan wajah sedih atau putus asa di depannya. Karena, beliau selama sakit gagal ginjal, juga tak pernah mengeluh lelah atau putus asa. Beliau selalu terlihat kuat di depan anak dan cucunya. Mama Akhirnya Menyusul Nenek Ketika anakku berusia 2 tahun 7 bulan, mama menutup mata untuk selama-lamanya. Ia sempat dirawat sepuluh hari di rumah sakit. Karena memang sepuluh hari sebelumnya, mama tiba-tiba nge-drop. Aku pun langsung membawanya ke IGD. Beliau selalu rajin cuci darah, rajin kontrol rutin bulanan, rajin minum obat, selalu ikuti anjuran dokter, tak ada yang dilanggar. Tapi mungkin ini memang sudah jalannya. Sudah waktunya Tuhan memanggil mama.  Sepuluh hari mamaku dirawat intensif, tak menunjukkan ke arah yang membaik. Lima hari di ruang HCU dan lima hari di ruang ICCU. Saat mama menutup mata, aku membawa jenazahnya dengan mobil ambulans rumah sakit setempat. Menjelang sakaratul mautnya, aku membacakan surat Yassin dan membisikkan dengan lembut lafal kalimat syahadat di telinga mama agar beliau mengikutinya. Betapa perihnya hatiku, menyaksikan sendiri ketika maut tengah menjemput orangtua yang sangat aku cintai itu. Mamaku meninggal sejak Agustus 2019, tetapi sampai sekarang aku masih mengingatnya. Jujur, aku masih merasa kehilangan sosoknya. Jadi begini, ya, rasanya tidak punya orangtua? Batinku. Benar, aku sudah tidak punya orangtua. Ayahku telah meninggal dunia pada tahun 2003, ketika aku masih kelas satu SMA. Beliau meninggal setelah berjuang melawan kanker kelenjar getah bening selama dua tahun. Artikel terkait: Pentingnya Menjaga Privasi Anak, Sudahkah Kita Lakukan? Hamil Anak Kedua Tanpa Kehadiran Orangtua dan Mertua Lalu, pada November 2020 lalu, aku mendapati diriku hamil kembali. Hamil anak kedua, tepatnya setelah anak pertamaku berusia empat tahun. Ada rasa bahagia campur sedih. Rasa bahagianya, karena aku dipercaya lagi oleh Tuhan untuk memiliki momongan, padahal waktu anak pertama saja kami menanti selama tujuh tahun pernikahan. Tapi rasa sedihnya, aku sudah tidak punya lagi sosok nenek dan orangtua. Batinku sempat bergejolak tapi untung suamiku selalu menenangkan dan menguatkanku. Ya, kini, suamikulah yang selalu jadi support system, penyemangatku. Suamiku juga menjadi partner setiaku ketika dulu mengurus nenek dan mamaku yang sakit. Suamiku tak pernah mengeluh. Dia membantuku dengan sepenuh hati, ikhlas, dan tulus. Sekarang, aku merasa di titik; “Bismillah, aku harus kuat, harus tabah, harus yakin, aku pasti bisa menjalani ini dengan kehadiran suami saja” Karena memang, aku juga sudah tidak memiliki mertua. Kedua mertuaku juga telah tiada. Baik aku dan suami, kami tidak punya lagi sosok orangtua. Karena ini, kadang hidupku terasa hampa. Namun, sisi positifnya, tidak ada rasa penyesalan pada diriku, karena aku diberikan kesempatan menghabiskan waktu untuk merawat nenek dan mamaku, sebagai wujud baktiku sebagai seorang anak sekaligus cucu bagi keduanya. Artikel terkait: “Tinggalkan Tradisi Setelah Melahirkan yang Salah,” Pesan Seorang Ibu Jadi, begini, ya, rasanya jadi seorang perempuan. Harus tegar, kuat, tetapi tetap harus punya sisi kelembutan dan kepekaan terhadap sekitar. Terutama terhadap anggota keluarga, yang sudah seharusnya kita perhatikan dan dicintai. Benar, mumpung masih ada kesempatan, cintai dan jagalah anggota keluarga kita. Karena bila mereka telah pergi, tidak akan ada kesempatan lagi untuk melakukannya. Pergunakan dengan baik waktu atau kesempatan yang ada. Bahagiakan keluargamu sebelum terlambat, sebelum mereka pergi meninggalkan kita untuk selamanya. Sebentar lagi, aku akan menjalankan perananku sebagai seorang ibu dari dua anak. Semoga diberikan Tuhan kelancaran, keselamatan, dan kesehatan. Aku selalu mengingat semua nasihat nenek dan mamaku, untuk aku terapkan dalam mengurus dan mendidik anak-anakku. Terima kasih nenek, mama, dan keluargaku. Kalian telah mengajarkan aku arti kekuatan, ketegaran, kesabaran, keikhlasan, serta cinta yang tulus. Terima kasih telah membentuk aku menjadi seorang perempuan kuat, tegar, dan pantang menyerah. Inilah kisah dan pengalamanku menjadi seorang ibu sekaligus anak bagi kedua orangtua yang telah tiada. Menjalani peran ini tentu tidak mudah. Dan aku percaya, bahwa setiap perempuan itu hebat dengan kisahnya masing-masing.  *** Artikel ini ditulis oleh Bunda Puput Cahyaningtias. :  Haruskah Menjadi Ibu yang Galak untuk Mendisiplinkan Anak? 'Merdeka' dari Luka Lama, Mengasuh dengan Lebih Baik dan Penuh Cinta Penuh Kejutan, Inilah Kisah Tiga Perjalanan Kehamilanku The post “Ibu dan Nenek Sakit Keras, Inilah Pengalamanku Menjadi Ibu Sekaligus Seorang Anak” appeared first on theAsianparent: Situs Parenting Terbaik di Indonesia.
http://dlvr.it/RvsHm1

Posting Komentar untuk "“Ibu dan Nenek Sakit Keras, Inilah Pengalamanku Menjadi Ibu Sekaligus Seorang Anak”"