Kisah Pilu Korban Perkawinan Anak, “Cukup Aku yang Mengalami, Anakku Jangan Sampai”
Masa kanak-kanak dan remaja seharusnya menjadi saat yang menyenangkan. Namun, apa jadinya ketika teman sebaya tengah asyik bermain dan belajar, seorang anak berusia 13 tahun malah dipaksa menikah? Inilah kisah Rasminah, korban perkawinan anak asal Indramayu.
Perlu diketahui, berdasarkan data BPS 2018, angka perkawinan anak di Indonesia terbilang cukup tinggi, yaitu mencapai 1,2 juta. Banyak hal yang menyebabkan tingginya angka pernikahan dini tersebut. Mulai dari faktor ekonomi, akses pendidikan yang kurang, ketidaksetaraan gender, lingkungan sosial budaya, hingga kepercayaan tertentu.
Selengkapnya, berikut kisah pilu korban pernikahan dini bernama Rasminah yang telah kami rangkum dari berbagai sumber.
Kisah Rasminah, Korban Perkawinan Anak Demi Bantu Ekonomi Keluarga
Rasminah bersama empat dari lima anaknya. Foto: VOA
September 1998, Rasminah yang masih belia dinikahkan dengan lelaki yang hampir dua kali lipat dari umurnya. Kondisi serba pas-pasan mendorong orangtuanya menikahkan sang putri dengan dalih membantu perekonomian keluarga.
“Kelas 3 SD, ayah saya stroke. Lumpuh, enggak bisa jalan lagi. Akhirnya, setelah lulus SD, saya menikah demi membantu ekonomi keluarga,” kisah Rasminah seperti dikutip dari VOA Indonesia via Tirto.id.
Rasminah menurut saja saat diminta menikah dengan Suyanto, pemuda 25 tahun asal Semarang. Lagipula, tak ada cukup biaya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP.
“Ijazah SD saja tak mampu ditebus,” katanya.
Foto: VOA
Persoalannya, kala itu ia belum siap berumah tangga. Bahkan, selama seminggu setelah ijab kabul, Rasminah kerap kabur untuk tidur di rumah orangtuanya.
“Perasaan saya hancur. Hancurnya karena saya masih ingin sekolah. Masih ingin main,” kenang Rasminah.
Setahun berikutnya, Rasminah melahirkan Karyamin. Usai melahirkan, Rasminah diajak sang suami pindah ke Semarang. Tapi ia menolak lantaran enggan berpisah dengan ibunya. Apalagi, ibunyalah yang mengasuh anak pertamanya.
Memasuki usia Karyamin dua tahun, nafkah dari sang suami terhenti. Suyanto jarang pulang dan akhirnya Rasminah ditinggalkan begitu saja bersama sang buah hati.
Menikah Lagi Agar Ada yang Menafkahi
Ilustrasi
Pasca ditinggal Suyanto, lagi-lagi Rasminah dicarikan suami agar ia dan Karyamin ada yang menafkahi. Ia kemudian dinikahi secara siri oleh tetangganya sendiri. Dartiman, duda beranak dua.
Sayangnya harapan akan kehidupan yang lebih baik hanya angan-angan belaka. Boro-boro menyelamatkan ekonomi keluarga, Rasminah bahkan tak pernah diberi nafkah.
“Kalau mau jajan, ya minta orangtua saya,” kisahnya.
Dua tahun setelah melahirkan anak keduanya, Juliana, Rasminah harus kembali menelan pil pahit. Suaminya meninggalkan mereka begitu saja.
Artikel terkait: Dampak Pandemi Bikin Angka Pernikahan Anak Tinggi, Ternyata Ini Alasannya
“Saya Seperti Budak”, Cerita Korban Perkawinan Anak
Ilustrasi
Gagal dalam dua pernikahan sebelumnya tak bikin Rasminah jera. Kedua anaknya butuh makan, sementara ia tak punya keterampilan apa pun untuk bekerja.
Secercah harapan terbit setelah dirinya bertemu Sumitra. Seorang juragan tanah dan dari keluarga terpandang yang siap menjadi suami ketiganya. Perbedaan usia tak jadi soal, Sumitra berumur 42 tahun saat dirinya masih 20.
Namun, alih-alih hidup bahagia dan berkecukupan, setelah menikah ia harus mengurus anak, suaminya yang mulai sakit-sakitan karena diabetes, bahkan hingga mertua dan nenek suaminya pun ia yang mengurus. Rasminah juga harus bekerja di sawah, mencuci, dan memasak.
Foto: VOA
“Saya jadi seperti budak. Kayak bukan rumah tangga, gitu,” katanya.
Tahun kelima usia pernikahannya, Rasminah harus menerima kenyataan sang suami meninggal akibat komplikasi penyakit diabetes. Sumitra meninggalkannya bersama seorang anak perempuan, anak ketiganya, bernama Wita.
Sementara itu, ia sendiri tengah bergelut dengan masalah fisiknya. Kakinya pincang usai digigit ular saat bekerja di sawah.
Rasminah kembali menjanda untuk kali ketiga. Melihat fisiknya yang pincang, ia pun merasa tak ada lagi masa depan.
“Cukup Saya Saja yang Mengalami”
Ilustrasi
Rupanya takdir baik kali ini memihak pada Rasminah. Ia bertemu Runata, laki-laki yang bersedia menafkahi Rasminah beserta anak-anak. Lelaki yang bekerja sebagai buruh tani itu merupakan sosok yang bertanggung jawab.
Rasminah akhirnya menikah dengan Runata yang berusia 28 tahun. Sementara ia sendiri berusia 25 tahun kala itu.
Dari pernikahan dengan Runata, mereka dikaruniai dua anak, yaitu Rifky dan Anita. Kini, kehidupan Rasminah jauh lebih baik.
“Cukup saya aja yang kayak gini. Anak saya jangan sampai. Biar mereka sekolah dulu atau bekerja dulu baru menikah,” ungkapnya.
Bahkan, di masa pandemi ini, Rasmiah juga tecengang mengetahui fakta bahwa pernikahan dini malah semakin melonjak. Ia hanya berharap, ke depannya, seorang ibu dapat mengambil peran besar dan penting untuk mendidik anak dan mencegah mereka terjerumus menjadi korban pernikahan dini.
Artikel terkait: Berhasil Hindari Pernikahan Dini, Sanita Kini Perjuangkan Hak Perempuan Muda di Indonesia
Menurutnya, untuk mencegah hal ini, mengajarkan dan mengingatkan anak tentang betapa pentingnya cita-cita, hidup mandiri, dan mendapat pendidikan layak perlu dilakukan oleh orangtua, terutama oleh seorang ibu.
Mengutip wawancara dengan VOA, Rasminah bertutur, “Mereka adalah anak kita. Maka, kita yang harus ingatkan supaya mereka sekolah tinggi, kerja, mandiri, bahagiakan orangtua, baru nikah
“Sesusah apa pun keadaannya. Jangan kawinkan anak sangat pandemi. Saya merasakan betul bagaimana rasanya ketika dikawinkan saat orangtua saya miskin,” pungkasnya.
Menjadi korban perkawinan anak, Rasminah bersama Endang Wasrinah dan Maryati, dibantu Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) lantas berupaya menghilangkan praktik pernikahan dini. Mereka turut berkontribusi mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait UU Perkawinan No.1/1974 yang menyoal usia kawin perempuan.
Bertahun-tahun berjuang, permohonan mereka baru dikabulkan setelah perdebatan alot di DPR. Akhirnya, disetujui untuk mengubah pasal soal usia kawin perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun.
Artikel terkait: Pernikahan Anak Usia 3 Tahun Digelar di Thailand
Berkaca pada kasus perkawinan anak yang dialami Rasminah dan banyak korban lainnya, pernikahan dini memiliki dampak buruk bagi kesehatan fisik maupun mental.
Standar usia pernikahan dibuat karena, baik dari sisi medis maupun psikologis, mental anak usia dini belum mampu mengatasi masalah yang bisa saja timbul dalam rumah tangga.
Ada pun perempuan di bawah 20 tahun yang menikah dan berhubungan seksual pun berisiko terkena kanker leher rahim, meningkatnya risiko penyakit menular seksual dan HIV, serta risiko kelahiran prematur dan atau terjadinya gangguan tumbuh kembang bayi.
Tak hanya itu, pernikahan dini juga tak dapat dipungkiri dapat menimbulkan risiko kekerasan dalam rumah tangga yang lebih tinggi.
Parents, itulah kisah pilu dari Rasminah yang pernah menjadi korban perkawinan anak. Semoga kasus pernikahan dini ini bisa terus diatasi dan semakin berkurang, ya.
:
Revisi UU Perkawinan disahkan, dapatkah menekan angka pernikahan anak?
Viral! Selebgram ini dianggap promosikan pernikahan dini, apa dampaknya?
Maraknya Nikah Siri – Seberapa Penting Status Pernikahan?
The post Kisah Pilu Korban Perkawinan Anak, “Cukup Aku yang Mengalami, Anakku Jangan Sampai” appeared first on theAsianparent: Situs Parenting Terbaik di Indonesia.
http://dlvr.it/RvQ4Yb
http://dlvr.it/RvQ4Yb
Posting Komentar untuk "Kisah Pilu Korban Perkawinan Anak, “Cukup Aku yang Mengalami, Anakku Jangan Sampai”"