5 Fakta RA Kartini, Pejuang Emansipasi Perempuan yang Meninggal di Usia Muda
Parents, setiap tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Sudahkah Anda mengetahui fakta seputar sosok Kartini?
Seperti telah diketahui, Raden Ajeng Kartini merupakan seorang pahlawan nasional yang berjuang membela hak kaum perempuan. Melalui pemikirannya dalam bentuk tulisan, Kartini membahas isu seputar kaum perempuan agar dapat memperoleh kebebasan serta kesamaan hak dengan laki-laki dalam mengenyam pendidikan.
RA Kartini lahir di Jepara pada tanggal 21 April 1879 yang berasal dari keluarga kelas priyayi Jawa. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat merupakan seorang Bupati Jepara. Sedangkan ibunya M.A Ngasirah, berasal dari keluarga dengan nilai agama nan kental.
Kendati sudah tiada, sosoknya sebagai pelopor emansipasi wanita terus dikenang hingga saat ini. Tak diketahui banyak orang, berikut sekelumit fakta menarik tentang Kartini!
5 Fakta Tentang Sosok Kartini
1. Menentang Feodalisme
Faktanya, Kartini mewarisi darah biru dari sang ayah yang merupakan Bupati Jepara. Sementara ibunya Ngasirah hanyalah garwa ampil (selir) karena berasal dari rakyat biasa, bukan keturunan ningrat.
Karena aturan feodal yang kental, ia diwajibkan memanggil ibunya sendiri “Yu” dari kata “Mbakyu” (kakak perempuan), sedangkan ibunya memanggil dirinya “Ndoro” (panggilan untuk bangsawan Jawa). Ngasirah harus berlaku sopan-santun terhadap anaknya sendiri, bahkan jika lewat di hadapan Kartini ibunya sendiri harus berjalan membungkuk.
Tak ingin terbelenggu, Kartini perlahan membebaskan diri dari adat dan menularkannya dimulai dari lingkungan rumah. Kartini melarang adik-adiknya berjalan jongkok, menyembah, menunduk dan bersuara pelan ketika berbicara dengannya. Ia pun membebaskan adiknya untuk memanggilnya dengan nama saja.
Bahkan, Kartini juga menolak penyematan Raden Adjeng di depan namanya. Bukan tanpa alasan, ia akan dipisahkan dari sang ibu jika mengenakan atribut tersebut.
Artikel terkait: 7 Fakta Perawat RS Siloam Dianiaya Keluarga Pasien hingga Luka-luka
2. Fasih Berbahasa Belanda
Karena Kartini perempuan, ia pun sulit menerima pendidikan formal pada masanya. Keharusan menyelesaikan pendidikan formal kemudian datang dari sang ayah, karena setelah Kartini selesai pendidikan sekolah dasar, Kartini akan dipingit.
Memasuki usia 12 tahun, Kartini bersekolah di Europese Lagere School (ELS). Di sekolah inilah Kartini mulai belajar Bahasa Belanda. Sekolah ini membuat Kartini tertarik dengan pemikiran perempuan Belanda yang sangat maju.
Dari sinilah timbul niat untuk memajukan perempuan pribumi yang kala itu berada di status sosial rendah. Semasa sekolah, Kartini rajin membaca buku dan ragam surat kabar berbahasa Belanda. Kebiasaan ini membuat Kartini mahir bahasa Belanda.
Sumber: Instagram @sandy_el_de_weiss
Kemampuan berbahasa Belanda dimanfaatkan Kartini untuk berkirim surat dengan koresponden di Belanda. Surat berisi sejumlah pemikiran hingga kondisi perempuan di Indonesia yang amat terkekang.
Selain feodal Jawa yang amat ia tentang, Kartini turut menyuarakan kaum perempuan yang sangat sulit mendapat pendidikan. Kartini mengusulkan agar perempuan bisa meraih pendidikan hingga kejuruan. Cara menulis yang indah dan progresif membuat suara Kartini akhirnya sampai ke telinga pejabat dan bangsawan Belanda.
Berkat kefasihan dan tata bahasa yang indah, sejumlah orang Belanda bahkan ragu surat yang dialamatkan kepada sahabat pena murni ditulis oleh Kartini. Namun setelah diteliti, itu memang asli tulisan Kartini sendiri.
Artikel terkait: Sering Diburu Saat Ramadan, Ini 10 Fakta Kurma Ajwa
3. Menolak Mencium Kaki Suami
Sejak kecil, tak disangka Kartini ternyata sudah hidup di pusaran kepedihan poligami. Ia menyaksikan ibunya sendiri yang menjadi korban poligami ayahnya. Ketika sang ayah akan menjabat sebagai bupati, syarat yang harus dilakukan adalah menikah dengan darah biru yakni putri dari Raja Madura.
Ngasirah yang bukan permaisuri hanya boleh tinggal di bagian belakang istana atau rumah. Sayangnya, ketika usianya menginjak 24 tahun dirinya harus merasakan kepedihan yang sama. Kartini terpaksa bersedia dinikahi bangsawan yaitu Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat yang kala itu memiliki dua orang selir.
Sumber: Instagram @sandy_el_de_weiss
Setelah melewati pertimbangan yang sangat matang dan menelisik calon suaminya, Kartini akhirnya bersedia dimadu. Ditambah dengan kondisi kesehatan ayahnya yang semakin memburuk setelah terkena serangan jantung.
Namun, sebelum menikah Kartini mengajukan sejumlah syarat. Ia ingin diperbolehkan mendirikan sekolah untuk anak perempuan, diperbolehkan mengajar, dan menggapai cita-citanya menjunjung harkat dan martabat perempuan. Selain itu, Kartini juga menolak ritual cium kaki suami yang merupakan kelaziman dalam upacara pernikahan feodal Jawa.
4. Mendirikan Sekolah Kartini
Perjuangan Kartini tidak berhenti setelah dirinya menikah dengan Raden Adipati Djojo Adiningrat. Kendati bukan satu-satunya, ia sedikit beruntung karena suaminya sangat mendukung cita-citanya akan pendidikan perempuan.
Inilah awal mula didirikannya Sekolah Kartini atau disebut Kartini School, yaitu sekolah khusus perempuan milik Yayasan van Deventer. Sekolah itu didirikan sebagai bentuk kekaguman Conrad Theodore van Deventer, seorang tokoh politik etis yang juga seorang ahli Hukum Belanda terhadap sosok Kartini. Sekolah tersebut pertama kali didirikan di Semarang pada 1912.
Sumber: Instagram @balikpapansosialita
Cabang Sekolah Kartini lalu merambah kota besar di Pulau Jawa antara lain Surabaya, Yogyakarta, Madiun, Malang, Cirebon, Bogor, dan beberapa daerah lainnya. Uang pendirian Sekolah Kartini dihasilkan dari penjualan buku kumpulan surat-suratnya yang diterbitkan teman-temannya di seantero Belanda.
Buku yang berisi kumpulan surat itu diberi nama Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Buku itu meraih sukses besar di kalangan publik Belanda lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu, Inggris, Indonesia, Sunda, dan Jawa.
Artikel terkait: 8 Fakta Atalia Praratya, Istri Gubernur Jawa Barat Positif COVID-19
5. Meninggal di Usia Muda
Sayangnya, perjuangan Kartini harus usai begitu cepat. Kartini meninggal di usia yang terbilang sangat muda, yakni 25 tahun. Ia meninggal beberapa hari setelah melahirkan.
Dari hasil pernikahannya dengan Raden Adipati Djojo Adiningrat, Kartini dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Soesalit Djojoadhiningrat pada 13 September 1904. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. Kendati sudah meninggal, api perjuangan Kartini masih terasa dan berlanjut sampai sekarang.
Demikian fakta tentang sosok Kartini, semoga informasi ini menginspirasi Anda untuk mencapai cita-cita setinggi mungkin.
6 Fakta Yuyun Sukawati Jadi Korban KDRT, Dicekik dan Dipukul Sampai Babak Belur
Ini 5 Fakta Pangeran Philip Suami Ratu Elizabeth II
5 Fakta Meninggalnya Adiguna Sutowo, Pengusaha Sekaligus Mertua Dian Sastro
http://dlvr.it/T5qKFT
Seperti telah diketahui, Raden Ajeng Kartini merupakan seorang pahlawan nasional yang berjuang membela hak kaum perempuan. Melalui pemikirannya dalam bentuk tulisan, Kartini membahas isu seputar kaum perempuan agar dapat memperoleh kebebasan serta kesamaan hak dengan laki-laki dalam mengenyam pendidikan.
RA Kartini lahir di Jepara pada tanggal 21 April 1879 yang berasal dari keluarga kelas priyayi Jawa. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat merupakan seorang Bupati Jepara. Sedangkan ibunya M.A Ngasirah, berasal dari keluarga dengan nilai agama nan kental.
Kendati sudah tiada, sosoknya sebagai pelopor emansipasi wanita terus dikenang hingga saat ini. Tak diketahui banyak orang, berikut sekelumit fakta menarik tentang Kartini!
5 Fakta Tentang Sosok Kartini
1. Menentang Feodalisme
Faktanya, Kartini mewarisi darah biru dari sang ayah yang merupakan Bupati Jepara. Sementara ibunya Ngasirah hanyalah garwa ampil (selir) karena berasal dari rakyat biasa, bukan keturunan ningrat.
Karena aturan feodal yang kental, ia diwajibkan memanggil ibunya sendiri “Yu” dari kata “Mbakyu” (kakak perempuan), sedangkan ibunya memanggil dirinya “Ndoro” (panggilan untuk bangsawan Jawa). Ngasirah harus berlaku sopan-santun terhadap anaknya sendiri, bahkan jika lewat di hadapan Kartini ibunya sendiri harus berjalan membungkuk.
Tak ingin terbelenggu, Kartini perlahan membebaskan diri dari adat dan menularkannya dimulai dari lingkungan rumah. Kartini melarang adik-adiknya berjalan jongkok, menyembah, menunduk dan bersuara pelan ketika berbicara dengannya. Ia pun membebaskan adiknya untuk memanggilnya dengan nama saja.
Bahkan, Kartini juga menolak penyematan Raden Adjeng di depan namanya. Bukan tanpa alasan, ia akan dipisahkan dari sang ibu jika mengenakan atribut tersebut.
Artikel terkait: 7 Fakta Perawat RS Siloam Dianiaya Keluarga Pasien hingga Luka-luka
2. Fasih Berbahasa Belanda
Karena Kartini perempuan, ia pun sulit menerima pendidikan formal pada masanya. Keharusan menyelesaikan pendidikan formal kemudian datang dari sang ayah, karena setelah Kartini selesai pendidikan sekolah dasar, Kartini akan dipingit.
Memasuki usia 12 tahun, Kartini bersekolah di Europese Lagere School (ELS). Di sekolah inilah Kartini mulai belajar Bahasa Belanda. Sekolah ini membuat Kartini tertarik dengan pemikiran perempuan Belanda yang sangat maju.
Dari sinilah timbul niat untuk memajukan perempuan pribumi yang kala itu berada di status sosial rendah. Semasa sekolah, Kartini rajin membaca buku dan ragam surat kabar berbahasa Belanda. Kebiasaan ini membuat Kartini mahir bahasa Belanda.
Sumber: Instagram @sandy_el_de_weiss
Kemampuan berbahasa Belanda dimanfaatkan Kartini untuk berkirim surat dengan koresponden di Belanda. Surat berisi sejumlah pemikiran hingga kondisi perempuan di Indonesia yang amat terkekang.
Selain feodal Jawa yang amat ia tentang, Kartini turut menyuarakan kaum perempuan yang sangat sulit mendapat pendidikan. Kartini mengusulkan agar perempuan bisa meraih pendidikan hingga kejuruan. Cara menulis yang indah dan progresif membuat suara Kartini akhirnya sampai ke telinga pejabat dan bangsawan Belanda.
Berkat kefasihan dan tata bahasa yang indah, sejumlah orang Belanda bahkan ragu surat yang dialamatkan kepada sahabat pena murni ditulis oleh Kartini. Namun setelah diteliti, itu memang asli tulisan Kartini sendiri.
Artikel terkait: Sering Diburu Saat Ramadan, Ini 10 Fakta Kurma Ajwa
3. Menolak Mencium Kaki Suami
Sejak kecil, tak disangka Kartini ternyata sudah hidup di pusaran kepedihan poligami. Ia menyaksikan ibunya sendiri yang menjadi korban poligami ayahnya. Ketika sang ayah akan menjabat sebagai bupati, syarat yang harus dilakukan adalah menikah dengan darah biru yakni putri dari Raja Madura.
Ngasirah yang bukan permaisuri hanya boleh tinggal di bagian belakang istana atau rumah. Sayangnya, ketika usianya menginjak 24 tahun dirinya harus merasakan kepedihan yang sama. Kartini terpaksa bersedia dinikahi bangsawan yaitu Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat yang kala itu memiliki dua orang selir.
Sumber: Instagram @sandy_el_de_weiss
Setelah melewati pertimbangan yang sangat matang dan menelisik calon suaminya, Kartini akhirnya bersedia dimadu. Ditambah dengan kondisi kesehatan ayahnya yang semakin memburuk setelah terkena serangan jantung.
Namun, sebelum menikah Kartini mengajukan sejumlah syarat. Ia ingin diperbolehkan mendirikan sekolah untuk anak perempuan, diperbolehkan mengajar, dan menggapai cita-citanya menjunjung harkat dan martabat perempuan. Selain itu, Kartini juga menolak ritual cium kaki suami yang merupakan kelaziman dalam upacara pernikahan feodal Jawa.
4. Mendirikan Sekolah Kartini
Perjuangan Kartini tidak berhenti setelah dirinya menikah dengan Raden Adipati Djojo Adiningrat. Kendati bukan satu-satunya, ia sedikit beruntung karena suaminya sangat mendukung cita-citanya akan pendidikan perempuan.
Inilah awal mula didirikannya Sekolah Kartini atau disebut Kartini School, yaitu sekolah khusus perempuan milik Yayasan van Deventer. Sekolah itu didirikan sebagai bentuk kekaguman Conrad Theodore van Deventer, seorang tokoh politik etis yang juga seorang ahli Hukum Belanda terhadap sosok Kartini. Sekolah tersebut pertama kali didirikan di Semarang pada 1912.
Sumber: Instagram @balikpapansosialita
Cabang Sekolah Kartini lalu merambah kota besar di Pulau Jawa antara lain Surabaya, Yogyakarta, Madiun, Malang, Cirebon, Bogor, dan beberapa daerah lainnya. Uang pendirian Sekolah Kartini dihasilkan dari penjualan buku kumpulan surat-suratnya yang diterbitkan teman-temannya di seantero Belanda.
Buku yang berisi kumpulan surat itu diberi nama Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Buku itu meraih sukses besar di kalangan publik Belanda lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu, Inggris, Indonesia, Sunda, dan Jawa.
Artikel terkait: 8 Fakta Atalia Praratya, Istri Gubernur Jawa Barat Positif COVID-19
5. Meninggal di Usia Muda
Sayangnya, perjuangan Kartini harus usai begitu cepat. Kartini meninggal di usia yang terbilang sangat muda, yakni 25 tahun. Ia meninggal beberapa hari setelah melahirkan.
Dari hasil pernikahannya dengan Raden Adipati Djojo Adiningrat, Kartini dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Soesalit Djojoadhiningrat pada 13 September 1904. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. Kendati sudah meninggal, api perjuangan Kartini masih terasa dan berlanjut sampai sekarang.
Demikian fakta tentang sosok Kartini, semoga informasi ini menginspirasi Anda untuk mencapai cita-cita setinggi mungkin.
6 Fakta Yuyun Sukawati Jadi Korban KDRT, Dicekik dan Dipukul Sampai Babak Belur
Ini 5 Fakta Pangeran Philip Suami Ratu Elizabeth II
5 Fakta Meninggalnya Adiguna Sutowo, Pengusaha Sekaligus Mertua Dian Sastro
http://dlvr.it/T5qKFT
Posting Komentar untuk "5 Fakta RA Kartini, Pejuang Emansipasi Perempuan yang Meninggal di Usia Muda"